Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Tengah Pandemi

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Tengah Pandemi

MORITA – Tak bisa dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan mulai dari kesehatan, perekonomian, keuangan hingga pada pendidikan dan lainnya.

Dari aspek pendidikan sendiri, pandemi yang melanda seluruh dunia dan Indonesia.

Ini mengharuskan para siswa dari jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi untuk belajar dari rumah secara daring.

Kekurangan dan kelemahan dari sekolah atau belajar secara daring dari rumah sudah terlihat oleh semua orang.

Meskipun proses adaptasi dari tenaga pendidik, siswa dan orang tua sudah terjadi cukup lama dan semakin terbiasa, hambatan-hambatan dan tantangan akan tetap ada.

“Walaupun sudah terbiasa dan tidak gagap, pembelajaran secara daring sejauh ini terkadang terasa membosankan dan melelahkan karena tidak adanya interaksi yang biasanya dilakukan” kata salah seorang mahasiswi Universitas Diponegoro.

Memang dalam sekolah daring ini, gangguan sinyal, keterbatasan perangkat online, keterbatasan kuota disertai rasa bosan, lelah dll menjadi beberapa hambatan dan tantangannya.

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Di sisi lain, ada tantangan tersendiri yang berbeda dengan hambatan dan tantangan diatas dimana hal itu dirasakan oleh anak tanpa berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus adalah kelompok yang terpukul secara mental dan fisik.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, jumlah anak yang berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai 1,6 juta.

Dilansir dari CNN Indonesia, bahwa ditengah pandemi Covid-19 serta ketidakstabilan emosi siswa dengan kebutuhan khusus menjadi tantangan dalam proses pembelajaran jarak jauh.

Pendidikan Anak Jarak Jauh

Menurut pendidiknya, dalam pembelajaran jarak jauh ini seorang ABK sulit merespons informasi yang masuk melalui panca indera akibat hambatan otak;

dan ini yang membedakan dengan anak pada umumnya.

Seorang ABK yang biasanya meluapkan perasaan dan tindakannya baik amarah atau kebahagiaan secara langsung kepada pendidik.

Di pandemi ini tidak bisa dilakukan sehingga hal ini menjadi kekhawatiran dari pendidik.

Seorang ABK dalam pembelajaran jarak jauh sangat bertumpu pada orang tua; karena mereka belum bisa untuk mandiri.

Masalah lainnya yang mungkin akan muncul adalah orang tua yang harus bekerja, tidak sanggup mengurus anaknya 24 jam, dsb.

Selanjutnya, pada kasus lain anak berkebutuhan khusus menemukan kenyamanan dalam rutinitas.

Ketika rutinitas terputus, maka mereka cenderung cemas dan berperilaku tidak biasanya. Harus mempertahankan rutinitas itu, namun bukan hal yang mudah.

Menurut seorang asisten pengajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Watkins Mill High School, di Gaithersburg, Maryland, Paramita Hidayat, pandemi Covid-19 mengacaukan kehidupan semua anak khususnya ABK.

Para orang tua dan pakar anak tidak hanya mencemaskan kondisi emosional mereka, namun juga bagaimana kurangnya pendekatan perorangan akan mempengaruhi kehidupan mereka dalam jangka panjang. (Dilansir dari VOA Indonesia)

Temukan Solusi

Hetifah, wakil ketua komisi X DPR RI mengatakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan harus mencari solusi terkait hal ini.

Hetifah juga mengatakan program pembelajaran daring untuk ABK bisa menggunakan televisi sehingga bisa dijangkau semua siswa.

Dan membuat konten dan program yang ramah disabilitas, buku bacaan untuk tunanetra, terjemahan bahasa isyarat dsb.

Tetapi sejauh ini mungkin sudah bisa dilihat terkait adanya terjemahan bahasa isyarat yang selalu ada di televise.

Namun, tidak menjadi solusi utama dalam hal pendekatan langsung kepada ABK ini sendiri.

Sehingga solusi masih sangat dibutuhkan mengingat anak berkebutuhan khusus membutuhkan kepedulian yang lebih dari anak biasa.

Penulis: Naomi

Leave a comment